10/16/12

Seharusnya.... Haruskah?


Aku hidup dibawah awan sejuk, yang seharusnya menyejukkan hatiku. Aku hidup diatas bumi hijau, yang seharusnya menyegarkan nafasku. Aku hidup di tempat nyaman, yang seharusnya menenangkan jiwaku. Jangan khawatir, aku tidak menyalahkan mereka. Aku tidak menyalahkan awan, bumi, dan lingkunganku. Aku pun tidak menyalahkan diriku. Tidak ada yang salah dalam hidupku. Hanya saja seringkali kata ‘seharusnya’ membuatku lemah, membuatku tidak berdaya. Seharusnya kata ‘seharusnya’ bisa memotivasiku, bukan melengahkanku. Seharusnya aku bisa lebih memahami hidup ini, bukan malah merasa tak mampu. Seharusnya aku bisa memberikan mereka yang terbaik, bukan malah melontarkan keluhan tak bermakna yang sering muncul dari kecapku. Seharusnya.....
Aku harus apa? Aku harus bagaimana? Seharusnya tidak ada yang bisa menjawab selain diriku. Seharusnya. Sungguh, hanya aku yang bisa mengubah segala kegelisahan ini. Aku gelisah, karena aku tidak percaya. Aku tidak percaya pada diriku sendiri. Payah, sungguh luar biasa payah. Aku tidak percaya pada kemampuanku. Aku tidak percaya pada kemampuan yang diberikan Tuhan untukku. Aku tidak percaya.... Seharusnya aku percaya...
Sungguh hanya Engkau yang tahu tentangku, Tuhan. Jika memang aku tak mampu, beri tahu aku. Jika memang aku tak mampu, beri aku petunjukmu. Jika memang aku tak mampu, untuk apa Engkau menempatkanku disini? Aku percaya padaMu. Aku percaya akan setiap rencana yang Engkau berikan padaku. Aku yakin, seburuk-buruk hal yang akan terjadi padaku, pasti akan membaikkan kondisiku. Serendah-rendah prestasi yang aku tuai, pasti akan meninggikanku. Selemah-lemah tenaga yang kumiliki, pasti akan menguatkanku. Suatu saat nanti, disaat yang tepat, disaat aku sudah pantas mendapatkannya.

10/13/12

Aku, Mawarku, dan Hujanku..

Aku jauh. Jauh dari rumahmu. Jauh dari pandanganmu. Jauh dari lisanmu. Jauh..... Bunda, aku jauh darimu. Engkau juga jauh dariku. Kenapa kita jauh? Akupun tak tahu kenapa kita harus berjauhan. Hal-hal sepenting apa yang membuat kita jauh?
Kita sangat jauh. bahkan untuk pulang pun aku tak bisa. Ya, karena itu, karena kita jauh.
Namun, kejauhan ini tak menjenuhkanku. Kejauhan ini membuatku sadar, sadar bahwa semakin hari kita akan semakin menjauh. 
Satu demi satu kuingat kembali. Mawar-mawar cantik itu sudah layu, terlalu banyak terkena tetesan hujan yang menghantamnya. Kejadian-kejadian terindah, tak terlupakan, termemalukan, terlucu, kejadian serba ter- ada ketika kita belum jauh. Memori-memori kecilku seakan menjadi pembesar hatiku. Kejauhan ini membuatku rindu.

Air lautku sudah sampai pelupuk. menentang bulu-bulu mata yang berusaha menghadang. Begitulah keadaanku setiap kali aku menuangkan memori-memori ini ke dalam goresan. Hujan, kenapa engkau datang dengan derasnya? Kau memang memberi kami kehidupan, menyuburkan tanah-tanah kami, menghidupi hewan-hewan kami, dan membantu kami. Namun, kenapa kau harus merusak mawar-mawar indah kami dengan hantaman butir-butiranmu?

Tentunya, kisahku tidak seluruhnya sama dengan perumpamaan mawar-mawar tadi. Namun, ada setitik kesamaan disitu. Ketika mawar-mawar bermekaran, menyebarkan wewangian di sekitarnya, dan menciptakan decak-decak kekaguman, tiba-tiba hujan turun. Deras, deras sekali. Butir-butirnya menghantam keindahan mawar-mawar tadi. Membuatnya layu, kaku, lemah tak berdaya. Hujan tidak jahat, hujan datang karena memang sudah saatnya mereka datang. Hujan turun deras, karena ia tahu kami kehausan, kami butuh air, kami butuh penghidupan. Tidak ada yang bersalah dan tidak ada pula yang perlu disalahkan.

Akulah mawar-mawar itu ketika tumbuh berkembang bersamamu, Bunda. Aku mawar yang cantik, menyebar wewangian, menebarkan pesonaku pada yang lain. Namun ketika hujan deras ini datang, aku tidak lagi mawar yang cantik. Aku mawar yang layu, menahan sakitnya hantaman derasnya butir-butir hujan. Aku harus menghadapinya. Hujan bukanlah badai, ini hanyalah momen-momen yang harus kujalani. Hujan deras ini sebuah pertanda. Pertanda bahwa aku akan naik ke tingkat yang lebih tinggi, kehidupan yang lebih kompleks, dan tentunya kedewasaan yang semakin teruji. Hujan ini memisahkanku denganmu, Bunda. Bukan tanpa alasan tentunya. Aku harus mandiri, belajar mengepakkan sayapku sendiri walaupun aku tahu kerangka ini belum cukup kuat. Aku harus jauh darimu, karena aku harus berkembang, tumbuh menjadi mawar yang lebih cantik, berkelopak lebih banyak, dan lebih menawan. Bunda, engkaulah sebenarnya yang membuatku jauh. Engkau yang membuatku memaksa diriku untuk selalu kuat dalam jauh. Aku janji, kejauhan ini akan terbayar. Terbayar bukan karena kesuksesanku, tetapi senyuman kebahagiaan yang terpancar di wajahmu kelak, ketika aku kembali.



Mom,
I love you, before since and after until,


Kakak <3