Ketika turun hujan, cacing itu naik ke permukaan. Bukan tanpa rintangan, mereka melalui lumut-lumut kasar yang mungkin melukai tubuh mereka.
Terjangan butiran hujan tentunya membuat mereka harus bertahan di dinding berlumut, entah bagian tubuh mana yang mereka jadikan tumpuan.
Belum lagi serangga-serangga bengis yang telah menanti kedatangan mereka di sudut-sudut strategis.
Anehnya, mereka tetap naik, menerjang semua rintangan tersebut.
Padahal, ketika hujan reda, mereka tahu permukaan akan kembali kering, mereka tahu langkah mereka akan terhenti tanpa air yang melumasi, mereka tahu mereka akan mati, diterkam pemangsa kejam yang kelaparan.
Kurasa cacing tahu mereka akan bernasib demikian, namun mengapa mereka tetap melakukan hal itu?
..................................................................
Entahlah, aku tak tahu apa tujuan hidup mereka, namun aku yakin, mereka punya tekad yang kuat untuk itu.
Jangan anggap mereka tolol, mereka memang tak punya otak sebagai sarana berpikir, tetapi nyatanya, manusia yang dianugrahi otak pun tak lebih baik dari mereka.
Manusia terlalu sering mengeluh, tak ingin terluka, dikalahkan oleh nafsu-nafsu tak berujung.
Manusia punya tumpuan kuat dalam diri mereka, namun lebih memilih bertumpu pada belas kasih orang lain.
Manusia tak punya pemangsa, karena merekalah sesungguhnya yang memangsa diri mereka sendiri.
Manusia... manusia...
Mungkin mereka terlena dengan gelar 'paling' sempurna pemberian Tuhan.
Mungkin mereka menutup hati, dan membiarkan mata dan nafsu yang bertindak.
Mungkin pula mereka tak takut salah, mereka tak takut berdosa, mereka tak takut MATI.
Maka dari itu...
Manusia memang sempurna, tetapi kesempurnaannya masih harus disempurnakan.
Mau tahu bagaimana? Rahasia. Mari berpikir filosofis, menggali lebih dalam, one day kita semua akan tahu, bahwa cara paling efektif adalah.......... bertanya langsung kepada-Nya :)